Mahasiswa Baru Institut Pesantren Mathali'ul Falah (Ipmafa) saat berdoa bersama dalam kegiatan Studium Generale (21/9/19) di Auditorium I. |
Berita Ipmafa – Hiruk
pikuk perkotaan dengan segala fasilitas yang memadahi tentu saja berpotensi
merenggut akar-akar kesantrian. Namun santri itu mempunyai Culture of Difence dalam menghadapi gempuran pragmatisme dan
matrealisme di era globalisasi ini.
Hal tersebut disampaikan Pakar Sosiologi Agama dan Aktivis
Toleransi Beragama Tedy Kholiludin dalam Studium Generale Institut Pesantren
Mathali’ul (Ipmafa) di Auditorium I (21/9/19).
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Tedy terhadap santri
di daerah urban Kauman-Semarang, ia menemukan setidaknya ada tiga cara yang
dilakukan santri dalam mempertahankan diri agar akar-akar kesantriannya tidak
tercerabut, yaitu dengan Collective Memory,
Bridge of Memory, dan simbol-simbol
tertentu yang menjadi identitas kolektif.
Pakar Sosiologi Agama dan Aktivis Toleransi Beragama Tedi Kholiludin saat menyampaikan materi tentang Diversity in Unity: Membentuk Identitas Kolektif Mahasiswa Berdasarkan nIlai-nilai Pesantren. |
Menurut penelitian Tedy, collective memory bisa menjelma
menjadi collective identity jika
terus dipertahankan. “Misalnya para santri urban mempertahankan ingatan tentang
kota kita itu adalah kota santri betatapun sudah menjadi metropolitan atau
bahkan kosmopilitan. Namun ingatan tentang kota ini sebagai kota santri menjadi
penting untuk dijaga karena akan membentuk identitas kolektifnya,” terangnya.
Dengan demikian, lanjut Tedy, ingatan tentang mahasiswa yang
mempunyai kontribusi terhadap pembangunan dan mengimbangi kekuasaan tidak hanya
fakta tetapi juga menjadi ingatan bersama. Inilah cara pertama yang bisa
digunakan untuk membentuk identias.
Kedua, terdapat
jembatan ingatan (Bridge of Memory). Menurut
Tedy, manusia mempunyai keterbatasan untuk menjangkau situasi atau ingatan masa
lalu. Maka untuk menjangkaunya harus melewati bridge of memory.
“Bentuknya bisa bermacam-macam, misal dengan ritual.
Collective identity tentu saja sangat mungkin bisa dibentuk karena ada ritus
bersama. Orang-orang NU atau santri di perkotaan misalkan mengingatkan kepada
tetangganya dengan ungkapan, “ngko nek
mati ora ditahlili lho” (suatu saat kalau meninggal tidak ditahlilkan lho).
Nah, hal itu sebenarnya merupakan ancaman. Maka sebagai santri ya harus
tahlilan. Dan sebagai masyarakat yang hidup di sekitar pesantren perkotaan tahlilan
akan menjadi commont rites (ritus
bersama) yang mengingatkan atau mengikat hingga akhirnya menjadi identitas
kolektif para santri dan masyarakat sekitarnya,” paparnya.
Ketiga, menurut
Tedy ada simbol-simbol tertentu yang menjadi identitas kolektif. “Mislanya kalau
di Semarang ada Kauman sebagai Kampung Qur’an, ada Kiai Sholeh Darat sebagai
intelektual di mana KH Hasyim Asyary dan KH Ahamd Dahlan pernah mengaji di
sana. Nah, pertanyaannya, dapatkah kita memunculkan atau memepertahankan
simbol-simbol kesantrian di daerah kita?” sentil Tedy.
0 Comments