Ada yang menarik pada saat pak Dahlan Iskan (DI) mengisi kuliah umum di
Ipmafa, Sabtu 20 November kemarin. Di tengah-tengah orasi ilmiahnya, sebanyak
tiga sesi Pak DI memanggil mahasiswa naik panggung untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan dari beliau. Setiap sesi beliau memanggil 3 mahasiswa,
tetapi selalu saja yang naik lebih dari tiga. Mungkin karena topiknya yang
sangat relevan (entrereneurship) atau juga metode pak DI yang lebih menarik.
Pada tiga sesi itu ada beberapa pertanyaan yang diajukan. Sesi pertama
beliau meminta maju mahasiswa yang sudah memulai berwirausaha. Pertanyaan
seputar usaha apa yang digeluti? Sudah jalan berapa lama, alasan apa yang
mendorong berwirausaha. Sesi kedua pertanyaan yang diajukan tentang dari mana
modal awal yang diperoleh. Sesi terakhir pak DI meminta khusus mahasiswa yang
pernah ditipu orang lain pada saat menjalankan usaha? Bagaimana kronologinya?
Apa yang dilakukan ketika sadar dirinya telah menjadi korban penipuan. Satu per
satu mahasiswa menjawab dengan lancer semua pertanyaan.
Setelah sesi dialog, Pak DI menyampaikan statemen sederhana yang menyentak
benak saya:
“Hari ini teori kewirausahaan telah
runtuh. Teori yang mengatakan memulai bisnis menunggu mudal adalah salah. Teori
bahwa kewirausahaan bisa diajarkan itu salah. Hari ini saya tidak mengajarkan
bagaimana berwirausaha yang benar. Teman-teman kalian sendirilah yang mengajari
bagaimana mereka telah menjadi wirausahawan” Kurang lebih seperti itulah yang
beliau sampaikan.
***
Benarkah teori entrepreneurship telah runtuh? Apakah begitu mudah
membongkar bangunan teori hanya berdasarkan testimony beberap orang, lalu
digeneralisasi? Itulah sederet pertanyaan yang seketika muncul dibenak saya.
Tentu saja Pak DI tidak bicara filsafat ilmu. Beliau tidak sedang
mengajarkan langkah-langkah penyusunan sebuah teori dan bagaimana
mendekonstruksi teori. Teori dihasilkan dari sebuah prosedur ilmiah yang
membutuhkan sejumlah langkah pembuktian, pengujian dan pertanggungjawaban
secara ilmiah pula. Apa yang disampaikan
oleh Pak DI secara teknis lebih tepat disebut presumsi dan asumsi. Ketika Pak
DI menyimpulkan bahwa entrepreneurship tidak bisa diajarkan berdasarkan jawaban
dari mahasiswa yang beragam sesuai pengalaman masing-masing, tidak cukup
dijadikan bukti kuat kebenaran pernyataan tersebut. Sebagian yang lain mungkin
dapat diterima sebagai postulat atau aksioma, seperti kesimpulan bahwa
berwirausaha tidak harus menunggu punya modal uang banyak. Pernyataan ini
mengandung kebenaran dan tidak memerlukan pembuktian, sehingga bisa
menghasilkan dalil-dalil turunan.
***
Sekali lagi Pak DI tidak sedang mengajar filsafat. Jadi, tidak relevan
kalau pernyataan beliau dikritisi dari prosedur ilmiah. Meskipun begitu, saya
menangkap bahwa itulah tamparan keras kepada dosen-dosen kewirausahaan/
entrepreneurship. Banyak yang masih mengajarkan secara textbook teori-teori
entrepreneurship tanpa berusaha merefleksikan ulang dengan perubahan sosial.
Padahal sebagai teori social, entrepreneurship bersifat dinamis. Kebenarannya
bersifat formil yang berarti jika ada temuan baru yang bertentangan yang juga
dihasilkan melalui prosedur ilmiah yang benar, bisa diterima sebagai teori yang
baru. Lebih memprihatinkan lagi kalau ada yang mensakralkan teori-teori
entrepreneursip dan menolak kebaruan terhadapnya.
Mengajarkan entrepreneurship (dan ilmu-ilmu sosial lain) bukan seperti
menjelaskan kalau air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Teori ini
baku, sunnatullah. Tetapi teori entrepreneurship dirumuskan berdasarkan pola
pengalaman manusia yang mengalaminya. Pola sifatnya hanya garis besar yang
berguna menarik kemiripan gejala menjadi sebuah pernyataan kebenaran yang bisa
diterima. Oleh karena itu, belajar dari kritik Pak DI, sudah seharusnya dosen
ilmu-ilmu sosial merubah cara berfikir. Harus selalu memandang kritis setiap
teori yang dibaca dan diajarkan. Teori bukan ayat suci yang sacral. Weber, Marx
dan ilmuwan social salinnya bukan nabi yang ma’shum. Pandangan mereka tidak
untuk direprduksi begitu saja.
Pak DI mengajak agar kita semua berfikir secara kontekstual, tidak terpaku
pada relativitas kebenaran teori. Sangat membekas pernyataan Pak DI ketika
dimintai oleh “wartawan kampus” ipmafa agar memberi pesan kepada mahasiswa.
Kata pak DI: “Saya orang yang tidak suka memberi pesan. Sebab mahasiswa
memiliki zamannya sendiri. Pengalaman saya berbeda dengan pengalaman mereka”.
Meskipun pada akhirnya beliau juga mmberi pesan he he..
Terimakasih Pak DI, atas ilmu, semangat dan inspirasinya. Saya sangat
berharap dipertemukan kembali dengan panjenengan agar bisa menyerap lagi ilmu,
pengalaman dan kebijaksanaan panjenengan. Insyaallah saya sudah punya 3 setel
celana training dan beberapa potong kaos yang bis saya pakai untuk gabung senam
bersama jamaah “Thariqah as-sanamiyyah ad-Dahlaniyyah”
(Pati,
21-11-21)
*Dr. A. Dimyati, M.Ag, Wakil Rektor I Bidang Akademik Institut Pesantren Mathali'ul Falah (IPMAFA) Pati.
0 Comments