Berita Ipmafa – Sore itu, Senin (30/9/19), pukul 15.15 WIB
sekumpulan mahasiswa tengah asyik berbincang di Warung Kedung Es milik salah
satu warga setempat, Mbak Wati. Mereka tak lain adalah anggota Lembaga Pers
Mahasiswa (LPM) Analisa-Institut Pesantren Mathali’ul Falah (Ipmafa) Pati.
Setiap Senin sore mereka
memang mempunyai jadwal ngobrol bareng seputar jurnalistik dan perkembangan
capaian kerja mingguan redaksi. Masalah tempat tak begitu dihiraukan, yang
penting menurut mereka nyaman dan tidak mengganggu privasi orang lain.
Meski pengetahuan
jurnalistik mereka bisa dikatakan masih sebatas isapan jempol, namun semangat
belajar dan berbagi ilmu mereka luar biasa.
Dari obrolan mereka terdengar
menyoal opini, esai, artikel dan tajuk rencana. Dua minggu lalu mereka membahas
tema penerbitan Buleti Oase sekaligus pembagian tugas hunting. Pada minggu lalu
gantian menyoal teknik menulis berita. Kini opini, esai, artikel dan tajuk
rencana.
Menurut penuturan salah
satu di antara mereka, disamping mempunyai kesamaan, ketiga model tulisan itu
mempunyai spesifikasi tersendiri.
“Opini misalnya, ia
punya karakter lugas, jadi nggak berbelit-belit. Soal isinya lebih pada
persoalan yang sedang atau baru saja terjadi. Makanya ia punya ciri reaktif
menanggapi secara cepat peristiwa yang terjadi, gak pake lama, keburu basi
tulisannya,” begitu kata Ketua Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI)
Dewan Kota (DK) Muria Oky Ardiyansyah berusaha menjelaskan kepada
kawan-kawannya.
Menurut mahasiswa Ipmafa
Jurusan Perbankan Syari’ah yang masih semester 3 tersebut, opini sering
terkesan tidak menyeluruh. Oleh karenanya hanya poin penting saja yang dibahas
dan dijabarkan dalam opini. Kalau diibaratkan dalam penulisan berita, maka opini
termasuk kategori Straight News.
Lebih lanjut, giliran
Nafi’atun Ni’mah menyampaikan sekilas tentang Esai yang mempunyai ciri khas
mengajak pembaca merenung, dalam penyajiannya tidak mesti harus formal,
suka-suka penulisnya. “Pembukaan esai bisa diawali dengan kisah, puisi, atau
kata mutiara. Kadang juga pembahasannya berupa sejarah, tokoh, sastra, dll,”
terangnya.
Begitu seterusnya hingga
obrolan mereka tentang opini, esai, artikel dan tajuk rencana rampung dibahas.
Ketegangan adu argumen lumrah terjadi saat berdiskusi. Ujung-ujungnya
ketawa-ketiwi karena masing-masing sama benarnya dan menyadari sama kelirunya.
Dari obrolan yang
berlangsung tersebut ada sebuah catatan penting dari Rujhan. Katanya, untuk
menghasilkan tulisan yang baik memang harus dengan mencoba berulang kali. Sekelas
Goenawan Muhamad saja dalam mengawali karier kepenulisannya pernah memperbaiki
tulisannya sampai ratusan kali sehingga tulisannya benar-benar bisa difahami
oleh orang lain.
Catatan Rujhan tersebut
menyiratkan makna bahwa tujuan menulis adalah untuk pembaca, maka bagi para
penulis pemula, menurut Rujhan seyogyanya melatih diri agar mempunyai
stabilitas kekuatan untuk menggali data dan informasi, menulis serta mengedit
dan mengedit lagi tulisannya secara berulang-ulang demi mencapai hasil
maksimal.
Tak berselang lama,
datang salah satu anggota LPM Analisa, Zakariya. Kedatangan anggota lama yang masih
sibuk dengan proses skripsinya ini kemudian menyeret perhatian yang lain pada cerpennya
yang berjudul “Musholaku” dalam Oase Edisi IV 2019.
Menurut kawan-kawannya,
Zakariya ini menggambarkan sosok pemeran utama bernama “Abdul”, secara fisik
dan kebiasaannya seolah-olah sama persis seperti penulisnya. Maka sangat wajar
jika ada yang nylethuk bertanya, “kenapa harus sama? Atau
jangan-jangan dipaksa sama?” tawa pun pecah seketika.
Dalam cerpen tersebut
diceritakan oleh Zakaria, sosok “Dul” (Abdul) adalah seorang kuli panggul di
salah satu pasar, berbadan gempal, berkulit sawo matang. Setiap jam 2 pagi
harus bangun dengan tergopoh-gopoh untuk memindahkan karung demi karung terong
milik pedagang. Upah berapapun ia terima dengan tangan terbuka, tak pernah
tertutup. Katanya dalam narasi yang ia bangun dalam cerpen itu.
Anehnya, meski seorang
kuli panggul, Dul tak pernah absen di belakang Mbah Udin saat Shalat berjamaah
di Mushola pasar. Karena hanya Dul saja yang mau menjadi makmum, sedang yang
lain sibuk dengan dagangan dan barang-barang yang mereka beli.
Bla, bla, bla, diskusi pun kembali ramai, hingga waktu
menunjukkan pukul 16.20 WIB. Mengingat waktu yang sudah sore, obrolan dan
candaan pun mereka akhiri.
Meskipun sifat pertemuan
tersebut tidak formal seperti pada jam-jam perkuliahan, namun mereka meyakini
bahwa sekecil dan sesingkat apapun sebuah pertemuan, tentu ada makna dan
manfaat di dalamnya.
0 Comments