Sabtu kemarin (20 November) adalah hari yang patut saya syukuri, sebab saya berkesempatan belajar langsung dari salah sau tokoh inspiratif yang semakin jarang di negeri ini, Pak Dahlan Iskan (sebagian orang suka menyebut inisial beliau: DI). Selama ini saya hanya tahu pak DI sebatas dari media mainstream (Koran, TV). Sejauh yang saya tahu beliau orang yang “nyentrik”, bukan dalam arti nganeh-nganehi dari sisi penampilan, tetapi memiliki gagasan yang out of the box . Tidak jarang gagasan itu beliau realisasikan menjadi keputusan meskipun harusmenghadapi risiko dicibir, diremehkan atau dimusuhi.
****
Sebenarnya pertemuan langsung saya yang pertama kemarin berawal dari agenda
kuliah umum yang diselenggarakan IPMAFA. Saaat rapat teknis sehari sebelum
acara, saya kebagian tugas menjemput beliau dari salah satu hotel di kota Pati.
Beberapa agenda sebelum kuliah umum sudah dilist, dimulai jama’ah subuh di
masjid IPMAFA, memberi kuliah subuh kepada mahasiswa yang tinggal di ma’had
jami’ah IPMAFA, kemudian lanjut ziarah ke makam Syaikh Mutamakkin, mengunjungi
situs masjid Kajen, lalu senam pagi bersama “jamaah” senam pak DI yang datang
langsung dari Surabaya.
Melihat list acara yang demikian, tentu saja sejak pukul 2 dini hari saya
sudah bangun, sebab perjalanan ke hotel tempat menginap pak DI sekitar 30
menit, sementara beliau menjandwalkan pukul 3.00 tepat berangkat dari hotel
menuju IPMAFA. Tepat pukul 2.30 saya sampai di depan hotel. Terlihat beberapa
kru pak DI sudah mempersiapkan mobil untuk yang akan membawa rombongan kecil pak
DI. Setelah memperkenalkan diri sebentar, saya bersama 2 orang kru pak DI yang
ternyata pimpinan dan wartawan Radar Kudus (pak Iqbal dan mas Rochim) mengajak
saya masuk ke ruang tunggu didepan loby hotel. Kemudian saya lihat mas Rochim
minta tolong kepada resepsionis agar membangunkan pak DI. Di sela-sela obrolan
kami bertiga, tepat pukul 3.00 Pak DI sudah terlihat keluar dari pintu lift
dengan mengenakan kaos hitam dan bersarung merah motif kotak-kotak. Saya
buru-buru menghampiri beliau, memperkenalkan diri dan mengkonfirmasi rangkaian
acara yang cukup padat. Segera setelah itu kami berangkat menuju IPMAFA.
Selama perjalanan saya beberapa kali koordinasi dengan pihak Ma’had untuk
memastikan agar semua sudah siap semua sebelum rombongan sampai. Di luar dugaan
perjalanan lebih cepat dari yang seharusnya. Pukul 3.40 tiga mobil yang kami
naiki sudah masuk area kampus. Saya sempat deg-degan ketika melihat masjid
masih sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang tergopoh-gopoh menuju masjid
sambil membetulkan sarung. Maklum memang belum waktunya subuh. Tapi untungnya
Pak DI seperti tanggap keadaan, sehingga tidak langsung masuk masjid, tapi
justru mengajak saya keliling melihat-lihat fasilitas kampus. Tentu saja saya
memanfaatkan hal itu untuk menjelaskan detil setiap fasilitas, mulai dari
fungsi, kapan dibangun, bagaimana mekanisme pendanaannya. Begitu adzan
dikumandangkan, barulah pak DI saya persilahkan ke masjid.
Selesai jama’ah, lagi-lagi saya coba memanfaatkan kesempatan untuk sedikit
maksa pak DI agar berkenan memberikan kuliah subuh di depan mahasiswa. Meskipun
awalnya menolak, tapi akhirnya beliau bersedia juga menyampaikan materi kuliah
subuh yang sangat inspiratif. Pak DI membuka forum dengan memperkenalkan diri
sebagai “bukan orang terpelajar”. Pendidikan formal yang beliau selesaikan haya
di tingkat SLTA, sehingga merasa tidak layak mendapat gelar kehormatan akademik
Prof., Dr. (HC).
Setelah itu beliau bercerita salah satu pengalaman ketika”dipaksa” Gus Dur
menjadi Dirut Bank Nusuma, yang ketika itu masih bernama bank Suma. Bank swasta
yang hampir kolaps itu dibeli NU (karena itu berubah nama menjadi NUSUMA), dan
pak DI diminta untuk menyelamatkan asset dan bisnisnya. Pak DI pasti tahu betul
kondisi bank Suma. Tetapi seperti yang beliau bilang, tidak mungkin menolak
dawuh Gus Dur, seorang kyai yang oleh pak DI dianggap sebagai gurunya. Pada
saat pak DI bertanya kepada Gus Dur, apa yang harus dilakukan untuk
menyelamatkan bank Suma, Gus Dur bilang “ya, tempatkan dana sampean di situ
menjadi saham”, pak DI pun manut-masut saja. Ternyata tidak selesai di situ, Gus
Dur minta agar pak DI sekalian menjadi Direktur Utamanya. Pak DI pun hanya bisa
sendiko dawuh dengan syarat, Gus Dur sebagai komisaris utamanya. Deal!
Singkat cerita bank Suma berhasil diselamatkan, lalu berubah nama menjadi
Nusuma dan pak DI menjadi Direktur Utamanya. Lagi-lagi Gus Dur meminta sesuatu
yang bagi saya nyaris tidak masuk akal. Pak DI diminta mengembalikan sahamnya
dan menyerahkan bank Nusuma kepada “pemilik asalnya” yang baru saja pulang dari
“pengasingan”. Siapapun kalau berada dalam posisi pak DI akan menolak
permintaan gila itu. Tapi sekali lagi pak DI menunjukkan rasa hormatnya kepada
guru yang sangat dia hormati. Bank Nusuma dilepas begitu saja.
***
Apa yang diceritakan pak DI menunjukkan betapa besar harga sebuah dedikasi
dan komitmen kepada orang lain. Kepatuhan pak DI kepada Gus Dur tidak pernah
dibebani dengan pertimbangan rasional untuk berhitung untung rugi. Apakah pak
DI tidak tahu hal itu? Mustahil kalau dibilang tidak tahu. Beliau di dunia
bisnis sudah menjadi pioneer selama puluhan tahun. Bahkan ketika memimpin Jawa
Pos Group, belau sudah mengadopsi teknologi yang jauh meninggalkan pesaingnya
sesama media cetak nasional. Beliau juga pernah menjabat sebagai menteri.
Gagasan beliau yang progresif melampaui masanya juga terlihat ketika
menginisiasi mobil listrik dengan pertimbangan masa depan yang menghadapi
problem kelangkaan sumber daya fosil. Beliau yang memimpin langsung produksi
prototype mobil listrik pertama, jauh sebelum Jerman, Amerika dan China
memegang kendali produksi dan pemasaran mobil ini.
Meski
begitu dedikasi pak DI mengalahkan keuntungan pribadinya. Seandainya mau
sedikit ngeyel dengan Gus Dur dengan mempresentasikan kebehasilannya menjadikan
bank yang nyaris kolaps menjadi sehat, bahkan memberikan kontribusi laba
usahanya kepada NU, mungkin kendali atas bank Nusuma masih bisa di tangan pak
DI. Dalam kasus bank Nusuma saya juga melihat dedikasi pak DI tidak membabi
buta. Beliau tetap mengedepankan profesionalitas. Sebagai orang yang mendapat
amanat memimpin bank Nusuma, Pak DI menerapkan kemampuan manajemen terbaiknya.
Dedikasi dan profesionalitas itu pula yang terlihat selama saya mengawal
beliau mulai jam 3.00 dini hari. Beliau selau on time, berpegang pada step by
step agenda yang sudah disepakati. Padahal saya mendapat pesan dari Pak Rektor
untuk mengikuti saja apapun yang dimaui pak DI termasuk ketika tiba-tiba merubah
agenda. Tetapi yang saya temui justru sebaliknya. Pak DI selalu bertanya kepada
saya, setelah acara ini kita ke mana, berapa lama alokasi waktunya. Sikap
professional beliau itu yang menjadikan saya pede untuk “mengatur” beliau
selama berada dalam “kekuasaan saya”. Termasuk ketika kami ajak ziarah ke makam
Syaikh Mutamakin dan Syaikhuna Kyai Sahal Mahfudh, lalu mengunjungi masjid
Kajen. Beliau manut dan menunjukkan antusias tinggi, ketika menderngar
penjelasan sejarah Mbah Mutamakkin, Mbah Sahal dan masjid Kajen. Beliau tidak
segan menanyakan filosofi setiap ornamen di masjid bersejarah yang berusia
lebih dari 400 tahun itu. Menutup agenda ziarah, pak DI menyempatkan shalat
tahiyyatul masjid 2 rakaat dan melafalkan doa dengan khusyuk.
Sesaat setelah mobil rombongan masuk halaman kampus IPMAFA, terlihat
“jamaah senam” Pak DI sudah siap melaksanakan senam pagi. Mereka memakai kostum
senam lengkap, menunggu kedatangan pak DI sambil ngobrol dan selfi bersama
mahasiswa dan dosen yang akan ikut senam. Pak DI segera keluar mobil dengan
kasos hitam yang beliau pakai sejak dari hotel tadi. Lalu naik panggung,
memimpin senam dengan sangat bersemangat. Usia 70 tahun tidak terlihat lagi.
Semangat dan energi beliau melampaui mahasiswa yang masih muda-muda. Padahal
kondisi fisik pak DI “tidak sempurna”. Beberapa waktu lalu beliau baru saja
melakukan transplantasi hati. Luar biasa pak DI!
***
Kuliah subuh yang hanya sekitar 15 menit dari Pak DI sangat berkesan bagi
mahasiswa yang mengikuti. Begitupun sikap beliau yang selalu respek pada orang
lain, professional, on time dan menyebarkan semangat kepada siapapun. Hal-hal
kecil selalu beliau perhatikan untuk menularkan semangatnya kepada siapapun
yang melihatnya. Termasuk saat sesi foto selepas senam dengan beberapa dosen,
beliau menyempatkan diri mencium istri tercinta dengan mesra. “So sweet pak
DI”. Biar saja mahasiswa yang jomblo hanya bisa teriak histeris melihat
kemesraan pak DI dan ibu.
Tetap sehat dan terus menginspirasi Pak
DI.
*Dr. A. Dimyati, M.Ag, Wakil Rektor I Bidang Akademik Institut Pesantren Mathali'ul Falah (IPMAFA) Pati.
0 Comments