Berita Ipmafa – Dalam
menghadapi tantangan jangan sampai terjebak pada romantisme masa lalu sehingga
kita dengan mudah terbawa arus dari pergerakan di luar sana yang selalu punya
mindset bahwa politik dan penguasa harus dilawan. Musuh bersama saat ini adalah
ketimpangan sosial, kemiskinan, kebodohan, kebijakan yang tidak berpihak kepada
mahasiswa, pada masyarakat.
Demikian petikan sambutan Wakil Rektor Institut Pesantren
Mathali’ul Falah (Ipmafa) Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Ahmad Dimyati dalam
Studium General bertemakan “Diversity in Unity: Membentuk Identitas Kolektif
Mahasiswa Berdasarkan Nilai-nilai Pesantren” yang digelar di Auditorium I
(21/9).
“Kita jangan sampai terjebak pada romantisme masa lalu di
mana untuk menyamakan, menggeneralisir bahwa musuh bersama dalah sistem
politik. Hal-hal itu yang seharusnya kita sadari dan kita angkat ke dalam arus
pergerakan mahasiswa dan menjadi kesadaran bersama supaya ada manfaat yang
jelas dari apa yang akan dilakukan mahasiswa nantinya,” tutur Dimyati.
Sejenak Dimyati mengajak mahasiswa menengok sejarah.
Terdapat alasan yang tidak sederhana mengapa Identitas kolektif mahasiswa
Ipmafa dianggap penting. Hal ini tidak lain mengingat kondisi dan tantangan
yang dihadapi mahasiswa saat ini berbeda dengan mahasiswa masa lalu.
“Dulu mahasiswa dengan begitu mudahnya disatukan idenya,
gagasannya, gerakannya dengan yang disebut sebagai public enemy (musuh
bersama) yaitu sistem pemerintahan, sistem politik yang tiranis. Maka
pergerakan pada masa lalu lebih didominasi pada bagaimana menerobos
batasan-batasan yang diciptakan oleh elit politik yang sifatnya tidak berpihak
pada demokrasi kebangsaan,” terangnya.
Dimyati menambahkan, Pasca reformasi sampai saat ini
tantangannya telah berubah. Tidak ada lagi musuh bersama yang disebut sebagai
sistem politik yang sifatnya tiranis. Menurutnya yang paling penting adalah
bagaimana mahasiswa mampu mengidentifikasi apa yang sebenarnya dihadapi dan
tantangan apa saja yang perlu mendapatkan perhatian lebih.
Selanjutnya, narasumber Dr. Tedy Kholiludin, M.Si
menyampaikan secara lebih detail dan komprehensif mengenai strategi mengangkat
nilai-nilai pesantren agar menjadi kepentingan bersama yang menjadi landasan
pergerakan mahasiswa saat ini.
Pakar Sosiologi Agama dan Aktivis Toleransi Beragama
tersebut menambahkan bahwa pesantren dengan segala kemampuan serta kekuatan
yang dimiliki mempunyai strategi untuk mengenalkan jalan-jalan yang berbeda.
Termasuk di antaranya mahasiswa dibekali dengan ilmu Ushul Fiqh.
Tedy juga menjelaskan strategi kebudayaan pesantren dalam
menghadapi arus modernitas dan globalisasi. Di luar itu Pria kelahiran
Kuningan, 27 Juni 1981 tersebut juga membocorkan adanya peluang-peluang agar
instrumen dakwah Islam yang ramah dan toleran bisa disalurkan melalui
kebudayaan populer.
0 Comments